Kali ini saya ingin menyajikan sebuah cerpen bagus yang bertema kewirausahaan bagi pelajar yang dapat menjadi referensi bagi pembaca semua. Silahkan disimak
Pangeran Gurame
Irsyad Mu’afa
Sejak ayahnya
meninggal 3 tahun silam, Danif menjadi tulang punggung keluarganya. Ia harus
menjadi penopang bagi keluarganya. Ayahnya mewarisi dua hektar lahan perikanan
ikan gurame yang kini dilanjutkan oleh Danif. Danif mungkin memiliki jiwa pengusaha
yang diwariskan oleh ayahnya yang memang terkenal sebagai Raja Gurame di daerah
Sleman.
Sisik ikan gurame
mencerminkan kehidupan Danif dan keluarganya. Kehidupan yang tak pernah datar,
kadang mulus tapi di sisi lain juga tak mulus. Pengusaha yang hebat memang tak
kenal apa yang namanya menyerah. Gemercak suara air tambak ikan gurame selalu
mengisi harinya. Setiap hari adalah hari Senin baginya, dan tak pernah ada hari
Minggu karena setiap hari ia mengurus dan mengatur usaha perikanan ikan gurame
milik keluarganya.
Kegiatan Danif
sehari-hari memang tak mudah, tapi ia lakukan semua dengan sepenuh hati dan
tanpa keluhan. Berbeda dengan pegawai yang punya banyak hari cuti, mulai dari cuti
hari raya, libur nasional, cuti tahun baru hingga cuti hamil. Danif tak pernah
punya hari cuti, bahkan cuti hamil ikan gurame pun tak ia dapatkan.
Danif tinggal di
rumah sederhana namun nyaman yang terletak di dekat tambaknya bersama ibu dan
kelima adiknya. Ibunya memang tak pernah mengenal apa itu KB, mungkin ibunya
mengira bahwa kepanjangan KB adalah Keluarga Banyak, asalkan punya anak banyak
pasti bisa sejahtera. Kelima adiknya memilki karakter yang berbeda-beda, dan
mereka pun juga pintar-pintar karena asupan gizi dari ikan gurame yang menjadi lauk
wajib mereka setiap harinya.
Segala biaya
sekolah kelimanya dibiayai oleh Danif sendiri. Adik pertamanya bernama Fahrul,
ia baru lulus dari SMA dan ingin melanjutkan ke universitas. Adik yang kedua
dan ketiga kembar, namanya Mawar dan Melati, si kembar nan centil yang duduk di
kelas 2 SMP. Adik yang keempat dan kelima juga kembar, namanya Dede dan Didi
yang baru saja masuk SD. Danif membiayai sekolah adik-adiknya karena ia ingin
membahagiakan orangtuanya yang kini tinggal ibunya seorang dan tak ingin merepotkan
ibunya. Ibunya pun memiliki tugas untuk mengurus adik-adiknya yang masih kecil
dan bandel-bandel.
Waktu panen
adalah waktu yang paling dinanti oleh Danif. Bukan karena ada cuti panen, tapi
karena ia pasti sibuk memantau dan mengatur tugas-tugas para pekerja tambaknya
yang ia anggap sebagai asisten. Danif memang memiliki asisten tambak yang dapat
ia tugaskan untuk mengelola tambaknya. Namun Danif tak hanya diam saja, ia juga
selalu memantau pekerjaan para asistennya dan memberi pengarahan dan berbagi pengalaman
yang di ajarkan oleh mendiang ayahnya. Danif memiliki seorang asisten terbaik
dari seluruh asistennya yang terbaik, namanya Deden, orangnya giat, jujur dan
sangat dapat diandalkan.
“Bos, panen
kita kali ini lumayan banyak, nanti saya laporkan dan presentasikan hasil panen
kali ini secara rinci.” celoteh Deden, asisten terbaik Danif yang gaya
bicaranya seperti orang kantoran.
“Saya tunggu
secepatnya Den, kau memang dapat kuandalkan.” jawab Danif.
“Dapet cuti
panen enggak nih Bos?” canda Deden.
“Lagakmu kaya
orang kantoran aja Den. kita ini pengusaha, makin banyak kerja makin banyak
untung!” tandas Danif.
Sejenak Deden
berpikir, banyak kerja banyak untung, banyak untung banyak uang, pasti bisa
untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Deden berubah pikiran, ia pun tak
berpikir untuk bercuti, mulai saat itu Deden makin giat bekerja.
Adzan maghrib
berkumandang, mengajak Danif sekeluarga untuk melaksanakan sholat berjamaah di sebuah
surau dekat rumah mereka. Saat mereka semua selesai sholat, Fahrul, adik Danif
mendekati Danif.
“Bang, Fahrul
pengen ngomong sesuatu.” ucap Fahrul.
“Ngomong apa Rul??”
balas Danif.
“Fahrul pengen
sekolah ke Perancis Bang ke International Space University, boleh enggak?”
tanya Fahrul pada abangnya.
“Ha?, Perancis?
Jauh amat Rul! Kenapa enggak di Jogja aja, kan lebih deket?”
“Oke, kalau Fahrul
ini memang adik abang, turuti permintaan Fahrul! Fahrul enggak akan sia-siain
diut abang, Fahrul ini pengen jadi orang pinter Bang!!”. bentak Fahrul, yang
sifatnya memang mudah marah juga keras kepala. Fahrul pun langsung pergi dari
hadapan Danif.
Bagai menelan
duri gurame, Danif kebingungan dengan apa ia membiayai Fahrul sekolah ke Perancis,
keuntungan dari usaha perikanan gurame tak mungkin cukup untuk membiayai
sekolah Fahrul ke Perancis. Sempat terbesit di dalam pikirannya untuk menjual
seluruh lahan usaha guramenya dan beralih menjadi penjual gurame bakar.
“Bu, Fahrul
pengen sekolah ke Perancis, bagaimana dengan semua biayanya? Keuntungan dari
usaha gurame tak mungkin cukup untuk bayar biaya sekolah Fahrul ke Perancis.
Apa Fahrul jual semua lahan usaha perikanan gurame ini ya bu?” tanya Danif.
“Ha? Gila juga
adikmu! Tapi biarkan apa maunya yang terpenting ia sekolah beneran dan enggak
ikut tawuran mahasiswa di Perancis. Soal biayanya jangan kau jual seluruh
usahamu ini Nif, sebagian sajalah.”
“Bu, sebadung
apapun Fahrul, dia enggak mungking tawuran di Perancis Bu, di sana beda dengan
pelajar Indonesia yang bisanya cuma demo dan tawuran pelajar, di Perancis
enggak ada tawuran pelajar.”
“Coba pelajar
Indonesia enggak pada tawuran, dan pelajar-pelajarnya sekolah beneran. Pasti
pelajar Indonesia bisa ngalahin orang-orang luar yang jenius itu ya Nif, biar
Indonesia lebih maju gitu..” celoteh ibunya.
Apapun
keadaanya, keluarga Danif tak akan mnghilangkan lahan perikanan warisan ayah Danif.
Danif pun setuju untuk menjual lahan perikanan itu, tapi hanya sebagian, yang
penting cukup untuk biaya Fahrul sekolah ke Perancis.
Tak butuh waktu
lama untuk menjual sebagian dari lahan perikanannya, hanya butuh waktu dua hari
untuk menjual lahan itu. Awalnya Danif dan asisten-asistennya sempat ragu
karena pasti penghasilan dari tambak gurame menurun drastis dan gaji para
asisten Danif juga akan dipotong. Mereka pun juga ragu apakah usaha itu dapat
besar kembali seperti sebelumnya.
“Den, sori ya,
lahan yang di sana bukan milik kita lagi. Usaha kita jadi makin kecil, begitu
juga dengan gajimu dan teman-temanmu. Kau masih setia dengan usaha ini kan Den??”
ungkap Danif dengan mata berkaca-kaca.
“Tak apa Bos,
kan Bos yang bilang, inilah pengusaha, makin banyak kerja makin untung dan tak
boleh manyerah, lama-kelamaan usaha ini bisa jadi besar lagi Bos, bahkan bisa
lebih besar lagi asalkan kita berusaha.” balas Deden dengan nada yang menggugah
semangat.
“Wihh,
bahasamu tinggi banget Den, belajar dari mana kau? Kau memang dapat kuandalkan
Den.” canda Danif.
“Siapa lagi?? Dedenn…”
tandasnya.
Tiga hari
setelah lahan perikanan terjual, Danif menyodorkan amplop tebal berisi uang
kepada Fahrul guna biaya sekolah di Perancis.
“Ini Rul
amanat dari Abang, uang ini untuk biaya kamu sekolah ke Perancis. Jaga dan
manfaatkan uang ini baik-baik, jangan kau sia-siakan!”
“Ingat apa
kata abangmu Rul!, sekolah yang bener di sana! Jadi orang pinter, jangan kau
bawa budaya tawuranmu ke Perancis, malu-maluin Indonesia nantinya.” sahut
ibunya.
“iya Bang,
Bu.., Rul akan sekolah bener-bener di Perancis, pengen jadi orang pinter biar sukses
dan dapet uang banyak untuk beli lahan perikanan buat abang, biar tambah besar
hehe.”
Gemercak air
tambak di pagi hari mengisi keluarga Danif esok itu, mengingatkan mereka untuk
bersiap mengantarkan Fahrul ke bandara, Deden pun ikut mengantar Fahrul ke
bandara. Sesampainya di bandara, Fahrul bergegas untuk segera masuk ke pesawat karena
ia datang terlambat, tapi tak lupa Fahrul meminta restu dan mencium tangan
ibunya dan akan memegang teguh amanat yang diberikan kepadanya. Pesawat
tumpangan Fahrul siap mengudara, ia mengucap salam dan melambaikan tangannya
dengan linangan air mata. Danif dan ibunya pun tak dapat menahan kesedihan. Sedih,
haru, dan senang bercampur di hati mereka, mata mereka berlinangan air mata
penuh harap semoga anak itu kembali dengan membawa kesuksesan bagi keluarga.
Suara pesawat
sangat berbeda dengan suara gemercak air tambak milik keluarga Danif, suara itu
terasa asing di telinga mereka. Suara pesawat menjadi pengantar kepergian
Fahrul ke Perancis. Fahrul tinggal di Perancis untuk beberapa tahun untuk
menyelesaikan kuliahnya, ia selalu memberi kabar lewat Email. Kabar terakhir dari
Fahrul, ia mendapatkan nilai-nilai yang bagus di setiap semesternya dan sering
dijadikan asisten oleh dosen-dosennya. Betapa bangganya Danif dan ibunya, tak
sia-sia mereka menjual sebagian lahan tambak mereka. Kini tambak keluarga Danif
yang sebelumnya dijual kini dibeli lagi dari hasil perjuangan Danif dan
asisten-asistennya yang memegang teguh prinsip pengusaha yang harus pantang
menyerah dan selalu berjuang. Sekarang kehidupan Danif sekeluarga dan
asisten-asistennya bagaikan berada di bagian halus dari sisik gurame. Entah
kapan lagi kehidpan mereka akan berada di bagian kasar sisik gurame, tak satu
pun dari mereka yang tahu dan hanya Tuhan yang tahu.
Karya.
Nama : Irsyad Mu’afa
Nomor : 11
Kelas : XI U 2
Komentar
Posting Komentar